Pengamat Sebut Dokter PPDS Unpad Bisa Hanya Dihukum Rehabilitasi karena Idap Kelainan Seksual
Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, menduga bahwa dokter residen anestesi Priguna Anugerah Pratama berpotensi dijatuhi hukuman berupa rehabilitasi, bukan hukuman pidana maksimal. Hal ini disebabkan oleh pernyataan aparat kepolisian, dalam hal ini Polda Jawa Barat, yang justru berspekulasi bahwa tindakan pelaku disebabkan oleh kelainan seksual.
Pernyataan ini disampaikan Reza dalam dialog "Sapa Indonesia Pagi" di Kompas TV, Jumat (11/4/2025). Menurutnya, narasi dari penyidik yang mengarah pada kemungkinan pelaku mengidap kelainan psikoseksual justru dapat menggeser pendekatan hukum dari yang bersifat hukuman (punitive) menjadi rehabilitatif.
“Ketika justru dari penyidik muncul narasi bahwa pelaku kemungkinan mengidap kelainan a, b, dan seterusnya, maka cara berpikir pun berubah arah. Dari semula ingin menghukum seberat-beratnya, menjadi berpikir bahwa jika seseorang dianggap memiliki kelainan atau penyakit, maka tidak layak dikenakan pendekatan funitif, melainkan rehabilitatif,” ujar Reza.
Ia menegaskan bahwa wacana rehabilitasi seharusnya tidak datang dari pihak penyidik. “Pertanyaannya sekarang, apakah kita ingin menitipkan pesan rehabilitatif itu kepada penyidik? Tentu saja tidak,” ucapnya.
Reza menambahkan, pernyataan mengenai kelainan seksual pada pelaku semestinya datang dari pihak penasihat hukum untuk dijadikan bahan pembelaan atau alasan meringankan hukuman. “Penyidik adalah tumpuan harapan masyarakat yang saat ini tengah diselimuti rasa takut dan marah. Harapannya tentu agar pelaku dihukum seberat-beratnya jika terbukti bersalah,” tegasnya.
Kronologi dan Perkembangan Kasus
Sebelumnya, publik dikejutkan oleh kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang dokter residen anestesi, Priguna Anugerah Pratama, terhadap anak dari pasien yang sedang dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Priguna diketahui merupakan mahasiswa program pendidikan spesialis Anestesiologi di Universitas Padjadjaran.
Kejadian bermula ketika pelaku menyampaikan kepada korban bahwa perlu dilakukan pengambilan sampel darah. Ia lalu meminta korban masuk ke sebuah ruangan di dalam rumah sakit. Belakangan diketahui bahwa ruangan tersebut merupakan ruang yang belum difungsikan oleh pihak rumah sakit.
Di dalam ruangan tersebut, pelaku membius korban dengan memasukkan cairan ke dalam selang infus, hingga korban tak sadarkan diri. Setelah siuman, korban merasakan kejanggalan pada tubuhnya dan segera melaporkan kejadian itu kepada pihak kepolisian.
Hasil penyelidikan mengungkap bahwa pelaku telah merencanakan aksinya, dan lebih dari satu korban telah melapor dengan modus serupa. Polisi menyita tujuh suntikan, obat-obatan yang diduga digunakan pelaku, serta alat kontrasepsi sebagai barang bukti.
Pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat dengan pasal kekerasan seksual, dengan ancaman pidana penjara maksimal 12 tahun. Polisi juga memastikan bahwa tindakan pelaku dilakukan di luar prosedur medis resmi.
Tanggapan Institusi
Menanggapi kasus tersebut, pihak Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung menyatakan bahwa pelaku melakukan tindakan di luar prosedur yang berlaku dan tidak mewakili praktik profesional rumah sakit. Universitas Padjadjaran pun mengambil tindakan tegas dengan memecat Priguna Anugerah Pratama dari program pendidikan spesialis.
Kasus ini telah memicu keprihatinan dan kemarahan masyarakat luas, khususnya karena pelaku berasal dari kalangan medis yang semestinya menjadi pelindung dan penyelamat pasien. Keterlibatan lembaga pendidikan dan kesehatan dalam mendukung proses hukum secara terbuka dinilai penting untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap dunia medis.
Kini masyarakat menantikan langkah tegas dari aparat penegak hukum, dengan harapan pelaku benar-benar dihukum secara adil dan transparan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Sumber: KompasTV